picture dokumentasi pribadi
Pria
itu masih mematung di sofanya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 02.10 pagi. Dibiarkannya
sebatang rokok yang sedari tadi di pegangnya, tak berniat untuk menyesapnya,
nyala merah telah memakan hampir setengahnya, dengan ekor abu yang cukup
panjang. Dijentikkannya ujung jarinya hingga abu itu terjatuh, kemudian diselipkannya
kepala gabus manis ke bibirnya, dihisapnya dan kemudian dihembuskannya ke
udara. Kepalanya menengadah bersender pada sandaran sofa, matanya terpejam,
dirasakannya aliran hangat meleleh dari kedua ekor matanya. “ahhhh,,,kenapa
harus seperti ini ?” desahnya lirih. Dimasukkannya rokok itu ke dalam cangkir
kopinya yang tersisa setengah. Tubuhnya beringsut, hingga kini ia telah dalam
posisi berbaring di sofanya, satu lengannya menutup matanya dan tangan yang
lain menjuntai ke lantai. Matanya terpejam tapi angannya melayang. Bibirnya
bergerak berbisik menyebutkan satu nama, “Nina,,,,kembali…”.
****
Pagi
sebersit cahaya dari celah tirai jendela berhasil menelusup kedalam ruangan
itu. Sebujur tubuh tampak sedang menikmati mimpinya ketika cahaya itu mulai
mengusik matanya, ia mengerjap, matanya belum mampu untuk terbuka sepenuhnya,
tangannya meraba-raba hingga ia menemukan benda kotak itu, dilihatnya layar hp
nya 10.15 angka yang tertera disana, hanya itu,,, tak ada pemberitahuan pesan
ataupun panggilan. Ia termenung sesaat, ia telah menyadari sesuatu ketika ia
beranjak turun dari kasurnya bahwa ia telah mengganti nomor ponsel nya.
****
Jam
ditangannya menunjukkan angka 05.30 ketika ia menginjakkan kakinya di sana,
pandangan matanya mengarah pada ujung rel kereta diarah barat. Senja. Tak
berjingga itu yang di lihatnya. Pandangannya mengarah ke langit, mendung. Gadis
itu menarik nafas panjang dua bulan ia tak menginjakkan kaki di kota ini.
“Niiinnnn,,,,,,!!!”
tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya
“Milaaa,,,”
nama itu meluncur dari bibirnya ketika nina menyadari sesosok gadis yang ia
kenal tengah berlari kearahnya.
“gimana,,lama
banget ga kesini ?” Tanya gadis itu ketika sampai dihadapannya
“kamu
lihat tu, senja nya udah ga bagus kaya dulu jadi males kesini..” jawab nina
dengan menunjuk kearah barat. Ia tertawa kecil.
Mereka
pergi dari stasiun itu, Mila mengarahkan mobilnya menuju sebuah café.
Sesampainya, mereka memilih tempat duduk di pojok, dekat jendela yang merupakan
tempat favorit Mila.
Nina
tengah asik memainkan gelas banana milk nya
ketika Mila tiba-tiba mengagetkannya dengan sebuah pertanyaan.
“Nin,,,kamu
kenapa putus sih sama Egi, padahal kan kalian udah pacaran lama, udah banyak yang
dukung kenapa tiba-tiba end gitu aja
?.
Nina
hanya diam
“kemaren
aku ketemu Egi, kaya udah ga ada semangat idup dia, ga seger kaya biasanya
penuh semangat. Cinta mati kayanya dia, stress berat dia. Dia bilang pengen
balik lagi dia ga bisa tanpa kamu ”. sambung Mila lagi
Obrolan
masih berlanjut, ketika jendela kaca dibasahi oleh tetesan air hujan. Seorang
gadis tengah meluapkan isi hatinya, dan gadis lainnya dengan setia mendengarkan
sambil sesekali memberikan tanggapan, dan tak lupa menyeruput kopinya.
****
Egi
seketika mematung ketika ia menyadari siapa yang tengah berdiri dihadapannya.
Tangannya masih memegang gagang pintu yang baru saja dibukanya. Bibirnya kelu
tak mampu mengucapkan sepatah kata. Matanya tak berkedip melihat sosok yang ada
di depannya. Perasaannya tak menentu, harus bahagia atau marah disana.
“hai
Gi,, ini aku bawain pesenannya,,” kata seorang gadis dengan senyumnya yang agak
serba salah.
Gadis
itu masih bungkam, pandangannya mengarah pada sosok dihadapannya, namun
seketika ia tertunduk. Dadanya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Ia hanya
diam. Membisu. Beberapa detik berlalu, kini ia melangkahkan kakinya mendekati
pria dihadapannya itu. Dengan ragu diraihnya tubuh itu, rasanya masih sama,
hangat, meski ada sedikit yang berbeda.
“akuuu,,,,
emang ga pernah sanggup untuk nyakitin kamu,,,” bisikan Nina menembus gendang
telinga Egi
“Ninnn,,,,,”
“bukan,,,
bukan itu,,,, aku justru selalu nyakitin kamu, dulu, kemarin dan sekarang, aku
terus nyakitin kamu,,,,” . Nina memotong kata-kata Egi. Ia mengeluarkan isi
hatinya. Bukan. Lebih tepatnya penyesalannya. Air matanya mengalir. Hanya itu
yang mampu ia ucapkan.
“Ninnn,,,jangan
nangis sayang, kamu tau air matamu selalu bikin aku takut….” Kata-kata itu
meluncur dari bibirnya. Dipeluknya gadis itu. erat. Seakan tak ingin dilepasnya
lagi. Namun ia sendiri masih tak habis pikir, kenapa ia tak marah saja saat
ini. Marah pada gadis yang telah meninggalkannya.
Ingatannya
kembali pada hari itu, ketika mereka bertengkar dua bulan yang lalu, hari
dimana ia ditinggalkan gadis ini.
“Nin, berhentilah kaya anak kecil,
buang egoisnya kamu…”
“iya,,aku emang anak kecil, belum
dewasa, aku egois, kenapa ? kamu capek ? kenapa ga di udahin aja..” jawab Nina
dengan emosi
“Niin,,jangan gitu dong,, aku kan
udah minta maaf, aku tadi ada lemburan di kantor ga bisa ditinggalin, lagian
kamu kan ga kasih aku kabar mau datang, kalo kamu kasih kabar aku bisa atur
kerjaanku biar bisa jemput kamu distasiun…”
“jadi aku salah ? aku salah kalo
mau kasih kejutan buat kamu ? apa kamu emang ga mau ketemu aku ?!! “. Masih
dengan nada emosinya
“Niin,,,,”
“ahh,,,udahlah kita sampe sini aja,
aku cape LDR an terus...”
“kata-kata itu lagi,,,,”
“terus menurut kamu gimana ? kita
udah LDRan lama, mau sampe kapan kita LDRan, terus kamu juga tau mimpiku kan,
rencanaku kedepannya ?”
Setelah
pertengkaran itu Nina benar-benar pergi, menghilang tak pernah ada kabar
darinya. Kini gadis itu memeluknya kembali dengan tangisannya. Ahh tidak, kenapa harus marah, bukannya aku
selama ini memang meminta Tuhan untuk mengembalikannya. Egi tersenyum.
Dapat dirasakannya lagi kini detakan itu. detakan didadanya ketika memeluknya.
****
Dua
insan itu masih duduk bersama ketika langit telah redup. Semburat keemasan
terpancar menghiasi ujung samudra, cahayanya memantul di garis cakrawala. Mata
raksasa itu mulai tenggelam bersamaan dengan burung-burung camar yang mulai
pulang. Deburan ombak terdengar lebih keras menabrak karang dibawahnya.
Hembusan angin membelai lembut rambutnya yang panjang, terurai. Gadis itu
bangkit dari duduknya, merentangkan tangan, matanya terpejam, segaris senyum
mengembang di bibirnya. Dihirupnya udara dalam-dalam, dan di hembuskannya
kembali. Dengan lembut.
Egi
tersenyum melihat senyum gadis itu. Dan lagi, dadanya kembali berdegup sedikit
lebih kencang, selalu seperti itu ketika ia melihat senyuman gadisnya. Egi
beranjak dari duduknya. Di rengkuhnya gadis itu, dibiarkannya sapuan lembut
rambut itu menerpa wajahnya. Egi tersenyum, dan ia mulai berbisik..
“Tuhan….
Jinggaku telah kembali,,,”
Nina
membenamkan wajahnya yang memerah di dada bidang itu. ia tersipu. Tangannya
semakin erat memeluknya. Nina tau dia memang tak pernah sanggup jika harus
berdiri tanpanya. Di nikmatinya detakan di dada itu, dinikmatinya kehangatan
dada itu. seperti tak ingin melepaskannya.
“Gii,,kapan
lagi aku bakal ngrasain ini,,,? Gumam Nina
“Cepat
kembali, dada ini akan menyambutmu,,,”
Dia
masih disana di dada itu, di atas tebing dan deburan ombak, ketika mata raksasa
itu sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Dan ketika suara itu membuyarkan
kenyamanannya…
“oooiiiiii,,,,,
udahan dong romantisannya, udah mau gelap, turun yuk, yang lain udah pada
nunggu..” suara Adit setengah berteriak. Nampak seorang gadis manis dan mungil
di saampingnya tengah tertawa kecil. Menertawakan mereka.
Egi
dan Nina pun tertawa. Malu.
Egi
menggenggam tangan Nina ketika mereka beranjak dari tebing itu. pergi. Seperti
senja dan jingganya yang juga tengah menghilang, meninggalkan deburan ombak
yang terus menerjang karang, tanpa kenal lelah. Dan karang yang masih dengan
sombongnya berdiri, kokoh, disana. Meninggalkan sepenggal kenangan disana.
****
Kini
pesawat telah stabil, setelah beberapa saat lalu lepas landas, menembus
lapisan-lapisan awan tipis. Nina mengamati tas kecil merah ditangannya. Di
lihatnya sebuah kotak biru dengan pita merah didalamnya. Juga sebuah amplop
berwarna jingga. Selembar surat itu kini tengah di baca Nina..
“Nina,,sayang,, kau tau senja hanya ada satu.
Dilangit manapun hanya ada satu senja. Dan senja yang kau lihat adalah senja
yang sama seperti senja yang aku lihat. Yang kita lihat. Kau tau,, senja takkan
indah tanpa jingga. Jingga lah penyempurna itu. seperti aku yang selalu
sempurna bila bersamamu dan suram tanpamu. Karena kau keindahanku.
Nina,,jinggaku,,jangan pernah mencoba pergi lagi dariku. Ketika kita berada di
tempat yang berbeda, namun kau tau kita selalu dibawah langit yang sama.
Kutitipkan seuntai harapanku
bersamamu. Maka kembalilah padaku, gapai mimpimu dan pulanglah padaku lagi,
tempatkan namaku dalam baris terakhir daftar mimpimu agar kau tak lupa jalan
untuk pulang padaku. Ku ikatkan seuntai kasih ku padamu, jagalah dan
kembalilah, bersama untaian itu. di kotak biru.”
Senja yang mencitai Jingganya
Dilipatnya
kembali kertas itu, dan kini perhatiannya beralih ke kotak biru. Dibukanya
dengan hati-hati dan nampak dimatanya sebuah rantai halus dengan liontin
lumba-lumba bermata mutiara, mungil dan serasi dengan rantai yang
menggantungnya. Sudut bibir Nina terangkat, membentuk lengkung indah, seperti
lengkungan lumba-lumba itu yang sepertinya sedang melompat. Di kaitkannya di
lehernya. Nampak indah menyatu dengan kulitnya yang putih. Di tatapnya layar
ponselnya yang bermode flight itu, angka
disana menunjukkan pukul 16.20. dialihkannya pandangannya ke luar jendela,
terlihat dimatanya semburat kuning keemasan masih terlihat memancar hangat.
Nina menarik nafas kembali, kali ini bukan karena beban tapi karena kelegaan.
Dipasangnya headset di telingannya,
terdengar lagu Vanilla Twilight milik
Owl city menyusup ke gendang
telinganya. Disandarkannya kepalanya dengan rileks, matanya terpejam. Pesawatnya
terus melesat, menembus awan, membawanya ke negeri Sakura, Jepang,
mengantarkannya menuju mimpi-mimpinya.
“Tunggu hingga jingga mu memelukmu, maka kau akan sempurna…”