Selasa, 15 Juli 2014

Ketika Senja Tak Berjingga

 picture dokumentasi pribadi


Pria itu masih mematung di sofanya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 02.10 pagi. Dibiarkannya sebatang rokok yang sedari tadi di pegangnya, tak berniat untuk menyesapnya, nyala merah telah memakan hampir setengahnya, dengan ekor abu yang cukup panjang. Dijentikkannya ujung jarinya hingga abu itu terjatuh, kemudian diselipkannya kepala gabus manis ke bibirnya, dihisapnya dan kemudian dihembuskannya ke udara. Kepalanya menengadah bersender pada sandaran sofa, matanya terpejam, dirasakannya aliran hangat meleleh dari kedua ekor matanya. “ahhhh,,,kenapa harus seperti ini ?” desahnya lirih. Dimasukkannya rokok itu ke dalam cangkir kopinya yang tersisa setengah. Tubuhnya beringsut, hingga kini ia telah dalam posisi berbaring di sofanya, satu lengannya menutup matanya dan tangan yang lain menjuntai ke lantai. Matanya terpejam tapi angannya melayang. Bibirnya bergerak berbisik menyebutkan satu nama, “Nina,,,,kembali…”.
****
Pagi sebersit cahaya dari celah tirai jendela berhasil menelusup kedalam ruangan itu. Sebujur tubuh tampak sedang menikmati mimpinya ketika cahaya itu mulai mengusik matanya, ia mengerjap, matanya belum mampu untuk terbuka sepenuhnya, tangannya meraba-raba hingga ia menemukan benda kotak itu, dilihatnya layar hp nya 10.15 angka yang tertera disana, hanya itu,,, tak ada pemberitahuan pesan ataupun panggilan. Ia termenung sesaat, ia telah menyadari sesuatu ketika ia beranjak turun dari kasurnya bahwa ia telah mengganti nomor ponsel nya.  
****
Jam ditangannya menunjukkan angka 05.30 ketika ia menginjakkan kakinya di sana, pandangan matanya mengarah pada ujung rel kereta diarah barat. Senja. Tak berjingga itu yang di lihatnya. Pandangannya mengarah ke langit, mendung. Gadis itu menarik nafas panjang dua bulan ia tak menginjakkan kaki di kota ini.
“Niiinnnn,,,,,,!!!” tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya
“Milaaa,,,” nama itu meluncur dari bibirnya ketika nina menyadari sesosok gadis yang ia kenal tengah berlari kearahnya.
“gimana,,lama banget ga kesini ?” Tanya gadis itu ketika sampai dihadapannya
“kamu lihat tu, senja nya udah ga bagus kaya dulu jadi males kesini..” jawab nina dengan menunjuk kearah barat. Ia tertawa kecil.
Mereka pergi dari stasiun itu, Mila mengarahkan mobilnya menuju sebuah café. Sesampainya, mereka memilih tempat duduk di pojok, dekat jendela yang merupakan tempat favorit Mila.
Nina tengah asik memainkan gelas banana milk nya ketika Mila tiba-tiba mengagetkannya dengan sebuah pertanyaan.
“Nin,,,kamu kenapa putus sih sama Egi, padahal kan kalian udah pacaran lama, udah banyak yang dukung kenapa tiba-tiba end gitu aja ?.
Nina hanya diam
“kemaren aku ketemu Egi, kaya udah ga ada semangat idup dia, ga seger kaya biasanya penuh semangat. Cinta mati kayanya dia, stress berat dia. Dia bilang pengen balik lagi dia ga bisa tanpa kamu ”. sambung Mila lagi
Obrolan masih berlanjut, ketika jendela kaca dibasahi oleh tetesan air hujan. Seorang gadis tengah meluapkan isi hatinya, dan gadis lainnya dengan setia mendengarkan sambil sesekali memberikan tanggapan, dan tak lupa menyeruput kopinya.
****
Egi seketika mematung ketika ia menyadari siapa yang tengah berdiri dihadapannya. Tangannya masih memegang gagang pintu yang baru saja dibukanya. Bibirnya kelu tak mampu mengucapkan sepatah kata. Matanya tak berkedip melihat sosok yang ada di depannya. Perasaannya tak menentu, harus bahagia atau marah disana.
“hai Gi,, ini aku bawain pesenannya,,” kata seorang gadis dengan senyumnya yang agak serba salah.
Gadis itu masih bungkam, pandangannya mengarah pada sosok dihadapannya, namun seketika ia tertunduk. Dadanya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Ia hanya diam. Membisu. Beberapa detik berlalu, kini ia melangkahkan kakinya mendekati pria dihadapannya itu. Dengan ragu diraihnya tubuh itu, rasanya masih sama, hangat, meski ada sedikit yang berbeda.
“akuuu,,,, emang ga pernah sanggup untuk nyakitin kamu,,,” bisikan Nina menembus gendang telinga Egi
“Ninnn,,,,,”
“bukan,,, bukan itu,,,, aku justru selalu nyakitin kamu, dulu, kemarin dan sekarang, aku terus nyakitin kamu,,,,” . Nina memotong kata-kata Egi. Ia mengeluarkan isi hatinya. Bukan. Lebih tepatnya penyesalannya. Air matanya mengalir. Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
“Ninnn,,,jangan nangis sayang, kamu tau air matamu selalu bikin aku takut….” Kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Dipeluknya gadis itu. erat. Seakan tak ingin dilepasnya lagi. Namun ia sendiri masih tak habis pikir, kenapa ia tak marah saja saat ini. Marah pada gadis yang telah meninggalkannya.
Ingatannya kembali pada hari itu, ketika mereka bertengkar dua bulan yang lalu, hari dimana ia ditinggalkan gadis ini.
“Nin, berhentilah kaya anak kecil, buang egoisnya kamu…”
“iya,,aku emang anak kecil, belum dewasa, aku egois, kenapa ? kamu capek ? kenapa ga di udahin aja..” jawab Nina dengan emosi
“Niin,,jangan gitu dong,, aku kan udah minta maaf, aku tadi ada lemburan di kantor ga bisa ditinggalin, lagian kamu kan ga kasih aku kabar mau datang, kalo kamu kasih kabar aku bisa atur kerjaanku biar bisa jemput kamu distasiun…”
“jadi aku salah ? aku salah kalo mau kasih kejutan buat kamu ? apa kamu emang ga mau ketemu aku ?!! “. Masih dengan nada emosinya
“Niin,,,,”
“ahh,,,udahlah kita sampe sini aja, aku cape LDR an terus...”
“kata-kata itu lagi,,,,”
“terus menurut kamu gimana ? kita udah LDRan lama, mau sampe kapan kita LDRan, terus kamu juga tau mimpiku kan, rencanaku kedepannya ?”
Setelah pertengkaran itu Nina benar-benar pergi, menghilang tak pernah ada kabar darinya. Kini gadis itu memeluknya kembali dengan tangisannya. Ahh tidak, kenapa harus marah, bukannya aku selama ini memang meminta Tuhan untuk mengembalikannya. Egi tersenyum. Dapat dirasakannya lagi kini detakan itu. detakan didadanya ketika memeluknya.
****
Dua insan itu masih duduk bersama ketika langit telah redup. Semburat keemasan terpancar menghiasi ujung samudra, cahayanya memantul di garis cakrawala. Mata raksasa itu mulai tenggelam bersamaan dengan burung-burung camar yang mulai pulang. Deburan ombak terdengar lebih keras menabrak karang dibawahnya. Hembusan angin membelai lembut rambutnya yang panjang, terurai. Gadis itu bangkit dari duduknya, merentangkan tangan, matanya terpejam, segaris senyum mengembang di bibirnya. Dihirupnya udara dalam-dalam, dan di hembuskannya kembali. Dengan lembut.
Egi tersenyum melihat senyum gadis itu. Dan lagi, dadanya kembali berdegup sedikit lebih kencang, selalu seperti itu ketika ia melihat senyuman gadisnya. Egi beranjak dari duduknya. Di rengkuhnya gadis itu, dibiarkannya sapuan lembut rambut itu menerpa wajahnya. Egi tersenyum, dan ia mulai berbisik..
“Tuhan…. Jinggaku telah kembali,,,”
Nina membenamkan wajahnya yang memerah di dada bidang itu. ia tersipu. Tangannya semakin erat memeluknya. Nina tau dia memang tak pernah sanggup jika harus berdiri tanpanya. Di nikmatinya detakan di dada itu, dinikmatinya kehangatan dada itu. seperti tak ingin melepaskannya.
“Gii,,kapan lagi aku bakal ngrasain ini,,,? Gumam Nina
“Cepat kembali, dada ini akan menyambutmu,,,”
Dia masih disana di dada itu, di atas tebing dan deburan ombak, ketika mata raksasa itu sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Dan ketika suara itu membuyarkan kenyamanannya…
“oooiiiiii,,,,, udahan dong romantisannya, udah mau gelap, turun yuk, yang lain udah pada nunggu..” suara Adit setengah berteriak. Nampak seorang gadis manis dan mungil di saampingnya tengah tertawa kecil. Menertawakan mereka.
Egi dan Nina pun tertawa. Malu.
Egi menggenggam tangan Nina ketika mereka beranjak dari tebing itu. pergi. Seperti senja dan jingganya yang juga tengah menghilang, meninggalkan deburan ombak yang terus menerjang karang, tanpa kenal lelah. Dan karang yang masih dengan sombongnya berdiri, kokoh, disana. Meninggalkan sepenggal kenangan disana.
****
Kini pesawat telah stabil, setelah beberapa saat lalu lepas landas, menembus lapisan-lapisan awan tipis. Nina mengamati tas kecil merah ditangannya. Di lihatnya sebuah kotak biru dengan pita merah didalamnya. Juga sebuah amplop berwarna jingga. Selembar surat itu kini tengah di baca Nina..
Nina,,sayang,, kau tau senja hanya ada satu. Dilangit manapun hanya ada satu senja. Dan senja yang kau lihat adalah senja yang sama seperti senja yang aku lihat. Yang kita lihat. Kau tau,, senja takkan indah tanpa jingga. Jingga lah penyempurna itu. seperti aku yang selalu sempurna bila bersamamu dan suram tanpamu. Karena kau keindahanku. Nina,,jinggaku,,jangan pernah mencoba pergi lagi dariku. Ketika kita berada di tempat yang berbeda, namun kau tau kita selalu dibawah langit yang sama.
Kutitipkan seuntai harapanku bersamamu. Maka kembalilah padaku, gapai mimpimu dan pulanglah padaku lagi, tempatkan namaku dalam baris terakhir daftar mimpimu agar kau tak lupa jalan untuk pulang padaku. Ku ikatkan seuntai kasih ku padamu, jagalah dan kembalilah, bersama untaian itu. di kotak biru.”
Senja yang mencitai Jingganya
Dilipatnya kembali kertas itu, dan kini perhatiannya beralih ke kotak biru. Dibukanya dengan hati-hati dan nampak dimatanya sebuah rantai halus dengan liontin lumba-lumba bermata mutiara, mungil dan serasi dengan rantai yang menggantungnya. Sudut bibir Nina terangkat, membentuk lengkung indah, seperti lengkungan lumba-lumba itu yang sepertinya sedang melompat. Di kaitkannya di lehernya. Nampak indah menyatu dengan kulitnya yang putih. Di tatapnya layar ponselnya yang bermode flight itu, angka disana menunjukkan pukul 16.20. dialihkannya pandangannya ke luar jendela, terlihat dimatanya semburat kuning keemasan masih terlihat memancar hangat. Nina menarik nafas kembali, kali ini bukan karena beban tapi karena kelegaan. Dipasangnya headset di telingannya, terdengar lagu Vanilla Twilight milik Owl city menyusup ke gendang telinganya. Disandarkannya kepalanya dengan rileks, matanya terpejam. Pesawatnya terus melesat, menembus awan, membawanya ke negeri Sakura, Jepang, mengantarkannya menuju mimpi-mimpinya.
“Tunggu hingga  jingga mu memelukmu, maka kau akan sempurna…”